strategi pembelajaran kooperatif

Perkembangan peradaban kehidupan manusia secara perspektif menuntut kecakapan hidup sebagaimana trend kebutuhan dalam era kehidupan global saat ini. Interaksi kehidupan manusia terjadi secara global, memungkinkan terjadinya banyak benturan baik yang bersifat budaya maupun kepribadian.
Budaya dan kepribadian manusia sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan tingkat pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan. Dengan demikian, anak sepatutnya mendapatkan pendidikan tentang budaya kehidupan global dengan bekal kemampuan interaksi dan kolaborasi yang baik.
Kurikulum pendidikan nasional tahun 2006, menetapkan prinsip pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, karakteristik, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini siswa harus mendapatkan pelayanan pendidikan memberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan dengan menegakkan pilar belajar hidup dalam kebersamaan dengan saling berbagi dan saling menghargai. Pembelajaran secara konstruktif dapat memberikan pengakuan terhadap pandangan dan pengalaman siswa dalam menghadapi dan menyelesaikan situasi yang tidak tentu. Untuk mewujudkan prinsip pelaksanaan kurikulum tersebut di atas, pembelajaran harus dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi, multimedia dan multiresource.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif telah dikembangkan melalui riset ilmiah diberbagai negara di dunia, sehingga sitematikanya dapat diterapkan disemua tingkat pendidikan dan di semua mata pelajaran termasuk Ilmu Pengetuan Alam (Biologi). Strategi pembelajaran kooperatif telah dikembangkan dalam berbagai tipe variasi, di antaranya adalah Think-Pair-Share, Students Teams Achievement Devition, Teams Games-Turnament, Jigsaw, dan sebagainya. Tipe pembelajaran tersebut memiliki penekanan yang berbeda tetapi semuanya masih dalam konsep regular dari pembelajaran kooperatif. Misalnya, Think-Pair-Share memiliki penekanan terhadap pengembangan kemampuan siswa menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik. Sedangkan Teams Games-Tournament menekankan pada tanggung jawab individu dalam berkonstribusi terhadap kesuksesan kelompok dalam suasana kompetitif.
Hakikat Pembelajaran Kooperatif
Menurut Kagan (1994) pembelajaran kooperatif adalah strategi pengajaran yang sukses di mana tim kecil, masing-masing dengan siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda, menggunakan berbagai aktivitas belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang suatu subjek. Setiap anggota tim bertanggung jawab tidak hanya untuk belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan belajar, sehingga menciptakan suasana prestasi bersama-sama. Students work through the assignment until all group members successfully understand and complete it. Siswa bekerja melalui penugasan sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dan menyelesaikannya.
Pembelajaan kooperatif dikembangkan berdasarkan teori perkembangan kognitif Vygotsky. Dalam teorinya, Vygotsky percaya bahwa anak aktif dalam menyusun pengetahuan mereka. Menurut Santrock (2008), ada tiga klaim dalam inti pandangan Vigotsky, yaitu (1) keahlian kognitif anak dapat dipahami apabila dianalisa dan diinterpretasikan secara developmental; (2) kemampuan kognitif dimediasi dengan kata, bahasa dan bentuk diskursus, yang berfungsi sebagai alat psikologis untuk membantu dan mentransformasikan aktivitas mental; dan (3) kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural. Implementasi teori Vygotsky untuk pendidikan anak mendorong pelaksanaan pengajaran yang menggunakan strategi pembelajaran kolaboratif atau pembelajaran kooperatif.
Dari tinjauan psikologi belajar, Djamarah (2008) mengemukakan bahwa belajar merupakan serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam pengertian tersebut, belajar melibatkan dua unsur penyusun tubuh manusia, yaitu jiwa dan raga. Untuk mendapatkan perubahan, gerak raga harus sejalan dengan proses jiwa. Dengan demikian, perubahan yang diperoleh bukanlah perubahan fisik, tetapi perubahan jiwa dengan gerakan fisik sebagai sebab masuknya kesan-kesan baru.
Dari tinjauan fisiologi otak, neuron-neuron yang berperan dalam pemrosesan informasi membentuk modul-modul yang saling berhubungan dan membentuk jalur majemuk yang pada gilirannya membentuk daerah atau komunitas korteks. Setiap modul memiliki rancangan genetic khusus yang menjadikannya ahli dalam satu aena interaksi dengan dunia. Beberapa sirkuit memproses sejumlah emosi, beberapa memproses interaksi sosial, beberapa memproses indrawi, dan lainyya menangani pikiran atau hal-hal terkait dengan gerakan, warna dan sebagainya. Oleh karena semua sistem kompleks ini memproses informasi secara khusus, maka disebut sebagai sistem pembelajaran (Given, 2007).
Sistem pembelajaran dipandu oleh kode genetik dan dipengaruhi oleh input lingkungan dalam membentuk pola respons. Aspek genetik merupakan aspek bawaan dan bersifat permanen sedangkan input lingkungan yang paling kuat adalah pola pengasuhan dalam hal ini orang tua dan guru. Struktur dalam pembelajaran kooperatif, memberikan peluang yang sangat tinggi dalam mengembangkan lima sistem pembelajaran primer anak, yaitu emosional, sosial, kognitif, fisik dan reflektif.
Menurut Given (2007), untuk meningkatkan efektivitas belajar, guru perlu menciptakan iklim kelas yang kondusif bagi keamanan emosional dan hubungan pribadi untuk siswa. Guru yang memupuk sistem emosional berfungsi sebagai mentor bagi siswa dengan menunjukkan antusiasme yang tulus terhadap anak didik, dengan menemukan hasrat untuk belajar, dengan membimbing mereka mewujudkan target pribadi yang masuk akal, dan mendukung mereka dalam upaya menjadi apapun yang bisa mereka capai. Jika pembelajaran memenuhi kriteria ini, maka kecemasan akademis diperkecil dan sistem emosional siswa siap untuk belajar.
Kecenderungan alamiah sistem pembelajaran sosial adalah hasrat untuk menjadi bagian dari kelompok, dihormati dan menikmati perhatian dari yang lain. jika sistem emosioanl bersifat pribadi, berpusat pada diri dan internal, maka sistem sosial berfokus pada interaksi dengan orang lain atau pengalaman interpersonal. Kebutuhan sosial siswa menuntut sekolah dikelola menjadi komunitas pelajar, tempat guru dan siswa bisa bekerja sama dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang nyata. Dengan berfokus pada kelebihan siswa dalam konteks kelas, kita menerima perbedaan sebagai berkah individual untuk dihormati, dan bukan sebagai perbedaan yang harus diperbaiki. Cara ini dapat memaksimalkan perkembangan sosial melalui kerja sama tulus anta-individu, perbedaan di antara mereka justru menciptakan petualangan kreatif dalam pemecahan masalah.
Menurut Given (2007), sistem pembelajaran kognitif otak berhubungan dengan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan perkembangan kecakapan akademis lainny. Sistem kognitif mengandalkan input sensoris, dan berfungsinya perhatian, pemrosesan informasi, dan beberapa subsistem memori secara memadai untuk mengontsruksi pengetahuan dan kecakapan. Perhatian pada sistem kognitif menempatkan guru pada peran fasilitator pembelajaran dan siswa pada peran pemecah masalah dan pengambil keputusan nyata. Sistem kognitif berfungsi paling baik jika sistem lain yakni emosional, sosial, fisik dan reflektif tidak bersaing dalam menarik perhatian. Jika sistem emosional dan sosial tertekan, sistem kognitif kehilangan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada upaya mengatasi masalah dan membuat keputusan akademis. Dengan demikian, memperoleh kecakapan dan pengetahuan menjadi prioritas kedua dan ketiga dalam sistem operasi majemuk pikiran.
Pembelajaran juga sangat tergantung pada kebutuhan sistem pembelajaran fisik untuk melakukan banyak hal, serta kecenderungan siswa untuk terlibat dalam pembelajaran. Meskipun sebagian siswa menghindari pembelajaran tactual dan kinestetik, namun siswa lain bisa menikmati pembelajaran hanya jika modalitas ini dilibatkan. Sistem pembelajaran fisik menyukai tugas akademik yang menantang yang mirip olah raga, dan perlu terlibat aktif karena sistem ini tidak bisa memproses informasi secara pasif.
Sedangkan sistem pembelajaran reflektif melibatkan pertimbangan pribadi terhadap pembelajarannya sendiri. Sistem ini menuntut siswa untuk memahami diri sendiri, dan ini bisa dikembangkan dengan pelbagai cara pembelajaran. Sebagai contoh, menyimpan catatan prestasi dan interpretasi kemajuan siswa bisa menjadi petunjuk tentang sistem dan subsistem pembelajaran yang paling efektif untuk anak tertentu. untuk mengoptimalkan perkembangan sistem pembelajaran reflektif, otak perlu mendapatkan instruksi eksplisit dalam pemantauan diri dan analisis kinerja. Disinilah peran guru dalam bertindak sebagai pencari bakat yang mengenali kelebihan siswa, kemudian membimbing dan memupuk kelebihan itu menjadi bakat nyata.
Aspek penting lain yang dapat mempengaruhi efektivitas sistem kognitif di kelas adalah guru. Guru harus menunjukkan minat dan memahami dengan baik kandungan materi yang diajarkan. Jika siswa merasa bahwa guru antusias terhadap materinya, antusiasme itu menular karena dapat mendorong hasrat kuat untuk belajar dan meraih prestasi akademis. Guru pun harus menunjukkan penerimaan dan penghargaan terhadap siswa berdasarkan kelebihan dan gaya belajar yang disukai masing-masing.
Pembelajaran kooperatif dirancang untuk dapat mengakomodasi kelima sistem pembelajaran yang terdapat dalam kompleks korteks otak. Dengan rancangan pembelajaran berkelompok dalam kelas, siswa mendapat peluang mengembangkan kemampuan dan potensi diri melalui aktivitas individual dan  kolaboratif yang proporsional. Menurut Slavin (2008), pembelajaran kooperatif merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan prestasi terutama jika disediakan penghargaan tim atau kelompok dan tanggung jawab individual.
Penghargaan atau pengakuan diberikan kepada kelompok sehingga anggota kelompok dapat memahami bahwa membantu orang lain adalah demi kepentingan mereka juga. Sedangkan tanggung jawab individual merupakan bentuk akuntabilitas individu di mana setiap orang memiliki kontribusi yang penting bagi tim atau kelompok. Metode pembelajaran kooperatif telah sering digunakan oleh para guru di sekolah selama bertahun-tahun dalam bentuk kelompok laboratorium, kelompok tugas, kelompok diskusi dan sebagainya.  Namun, penelitian terakhir di Amerika dan beberapa negara lain telah menciptakan metode-metode pembelajaran kooperatif yang sistematis dan praktis yang ditujukan unutk digunakan sebagai elemen utama dalam pola pengaturan di kelas.
 Elemen Pembelajaran Kooperatif
Hanya dalam kondisi tertentu bahwa usaha-usaha koperatif dapat diharapkan untuk menjadi lebih efektif dan produktif daripada upaya kompetitif dan individualistis. Oleh karena itu, pembelajaran kooperatif di desain sebagai pola pembelajaran yang dibangun oleh lima elemen penting sebagai prasyarat, sebagai berikut:
  1. Saling ketergantungan secara positif  (Positive Interdependence).  Bahwasanya setiap anggota tim saling membutuhkan untuk sukses. Sekecil apapun perannya, sebuah tim membutuhkan saling ketergantungan dengan individu lain. Ibarat pepatah, tenggelam atau berenang bersama-sama.
  2. Interaksi langsung  (Face-to-Face Interaction). Memberikan kesempatan kepada siswa secara individual untuk saling membantu dalam memecahkan masalah, memberikan umpan balik yang diperlukan antar anggota untuk semua individu, dan mewujudkan rasa hormat, perhatian, dan dorongan di antara individu-individu sehinga mereka termotivasi untuk terus bekerja pada tugas yang dihadapi.
  3. Tanggung jawab individu dan kelompok (Individual & Group Accountability). Bahwasanya tujuan belajar bersama adalah untuk menguatkan kemampuan akademis siswa, sehingga kontribusi siswa harus adil. Guru perlu mengatur struktur kelompok agar tidak ada siswa yang tidak berkontribusi, sehingga tanggung jawab seorang siswa tidak boleh dilebihkan dari yang lain. Dalam kelompok, tidak ada menumpang dan  tidak ada bermalas-malasan.
  4. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil (Interpersonal & small-Group Skills). Asumsi bahwa siswa akan secara aktif mendengarkan, menjadi hormat dan perhatian, berkomunikasi secara efektif, dan dapat dipercaya tidak selalu benar. Sering kali, kita harus menyisihkan waktu untuk memperhatikan hal ini dan menunjukkan bahwa keterampilan kerja sama tim sangat penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu cara untuk meningkatkan kerja sama tim dan keterampilan sosial siswa adalah untuk menyisihkan waktu secara berkala untuk membahas hal ini dengan siswa. Keterampilan sosial harus mengajarkan kepemimpinan, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, keterampilan manajemen konflik.
  5. Proses kerja kelompok (group processing). Proses kerja kelompok memberikan umpan balik kepada anggota kelompok tentang partisipasi mereka, memberikan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan pembelajaran kolaboratif anggota, membantu untuk mempertahankan hubungan kerja yang baik antara anggota, dan menyediakan sarana untuk merayakan keberhasilan kelompok. One strategy is to ask each team to list three things the group has done well and one that needs improvement (Smith, 1996). Salah satu strateginya adalah meminta setiap tim untuk mendaftar tiga hal telah lakukan dengan baik oleh kelompok dan satu yang perlu perbaikan. Guru juga dapat mendorong proses kerja bagi kelas, dengan mengamati kelompok-kelompok dan memberikan umpan balik yang baik untuk kelompok-kelompok individu atau ke seluruh kelas.

Lingkungan Belajar dan Prosedur Pembelajaran
Lingkungan belajar untuk pembelajaran kooperatif dicirikan oleh peran aktif siswa dalam menemukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Iklim demokratis dikembangkan oleh guru dalam mengambil keputusan terhadap pemecahan masalah yang timbul dalam pembelajaran. Dalam pembentukan kelompok, guru menerapkan suatu struktur dengan memperhatikan heterogenitas kemampuan, jenis kelamin, suku, kelas sosial, agama, kepribadian, usia, bahasa  dan lain sebagainya. Semua prosedur didefinisikan secara baik sehingga semua siswa memahaminya. Namun,  siswa diberi kebebasan dalam mengendalikan aktivitas mereka di dalam kelompoknya untuk mencapai tujuan yang ditargetkan bersama.
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. pembelajaran tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan pada proses kerja sama dalam kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, tujuan yang diingin dicapai bukan hanya tujuan akademik atau pengetahuan akan konten (kompetensi), akan tetapi juga unsur kerja sama dalam upaya penguasaan kompetensi tersebut. Penekanan pada kerja sama inilah yang menjadi ciri khas dari pembelajaran kooperatif  (Sanjaya, 2009).
Menurut Sanjaya (2009), prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu:
  1. penjelasan materi : proses penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa siswa belajar dalam kelompok. Tahapan bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini, guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa akan diperdalam pada pembelajaran kelompok. Guru dapat menggunakan metode ceramah, brainstorming, tanya jawab, presentasi atau demonstrasi. Penggunaan media dalam hal ini sangat penting agar penyajian dapat lebih menarik.
  2. belajar dalam kelompok: pada tahap ini siswa bekerja dalam kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya. Kelompok dibentuk secara heterogen dan mengakomodasi sebanyak mungkin variable pembeda. Melalui pembelajaran dalam kelompok, siswa didorong untuk melakukan tukar-menukar informasi dan pendapat, mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban mereka, dan mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.
  3. penilaian: Penilaian dalam pembelajaran kooperatif dapat dilakukan dalam bentuk tes atau kuis. Penilaian dapat dilakukan secara individual maupun secara kelompok. Penilaian individual akan memberikan informasi kemampuan setiap siswa secara individu, dan penilaian kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir penilaian dapat mengekuilibrasi penilaian individu dan penilaian kelompok. Nilai setiap kelompok memiliki nilai yang sama terhadap semua anggota kelompoknya, karena nilai kelompok merupakan hasil kerja sama setiap kelompok.
  4. pengakuan tim: Pada tahap ini, guru memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap siswa. Di mana penetapan tim yang dianggap paling menonjol dan berprestasi untuk kemudian diberikan perhargaan. Pengakuan dan pemberian penghargaan diharapkan dapat memotivasi siswa dan tim untuk terus membangkitkan semangat berprestasi.
Dalam implementasinya, efektivitas keempat prinsip dalam prosedur pembelajaran kooperatif dapat dikembangkan menjadi enam fase pembelajaran. Ke enam fase pembelajaran tersebut dapat disajikan dalam table di bawah ini.


Fase- Fase
Tingkah Laku Guru
Fase 1Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai danmemotivasi siswa
Fase 2Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase 3Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar  Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan embantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase 5Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu atau kelompok

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar